Sabtu, 19 November 2011

Pernikahan

BAB I

PENDAHULUAN


Nikah mut’ah adalah persoalan klasik. Sejak awal, sejarah hukum Islam telah diwarnai oleh kontroversi seputar permasalahan ini, terutama antara kelompok Sunni dan Syi’ah. Kelompok yang terakhir berpendapat bahwa dalam kondisi apa pun bentuk pernikahan ini berstatus halal, sedang kelompok Sunni berpandangan sebaliknya. Walaupun begitu nikah mut’ah tetap saja menarik dan aktual untuk dibicarakan. Hal tersebut disebabkan karena di sana sini secara sporadis masih banyak dijumpai praktek pernikahan model ini dengan segala variasinya.
Selama ini kajian tetang nikah mut’ah lebih banyak merujuk pada tradisi dan teks (logosentris), karenanya pemahaman yang komprehesif dan obyektif sulit diperoleh. Warisan tradisi teks berkaitan dengan persoalan mut’ah cukup bervariasi dan kaya, sehingga membuka kemungkinan untuk diinterpretasi sesuai dengan interest pribadi/golongan dan struktur kemasyarakatan. Struktur social yang bersifat patriarkhi diyakini mempunyai pengaruh besar terhadap legalisasi mut’ah dan bentuk-bentuk perkawinan lain yang mensubordinasikan perempuan.
Mut’ah adalah tradisi pra Islam yang masih dipelihara oleh kelompok Shiah (Imamiyyah dan Ja’fariyyah). Praktek mut’ah walaupun sering disebut sebagai khas Shiah, akan tetapi paktek tersebut secara formal hanya berlaku di Iran  dan diamini hanya oleh kelompok tradisionalis Shi’ah. Praktek ini disebut dengan mut’ah karena tujuannya adalah perolehan kenikmatan seksual (istimta) dalam jangka waktu tertentu (ajal) dan ongkos tertentu (ajr) dan , berbeda dengan pernikahan pada umumnya yang bertujuan memperoleh keturunan (procreation). Bagi pendukung mut’ah, praktek ini dilegitimasi oleh al-Qur’an, surat al-Nisa’ (4): 24,  walaupun menurut pihak lain, ayat-ayat tersebut tidak berbicara dalam konteks mut’ah. sedangkan teks hadis mengatakan bahwa nikah mut’ah telah dilakukan pada masa kenabian











BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian
Nikah Mut’ah adalah sebuah pernikahan yang dinyatakan berjalan selama batas waktu tertentu, dan otomatis akadnya putus setelah batas waktu tersebut tanpa harus ada cerai dari suami juga tidak ada waris-mewarisi. Disebut juga pernikahan sementara (النكاح المؤقت), dan batas waktunya disebutkan dalam akad, jika batas waktunya tidak disebutkan dalam akad maka hukumnya bukan nikah mut’ah. Menurut Sayyid Sabiq, dinamakan mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja. Dalam nikah mut’ah, jangka waktu perjanjian pernikahan (‘ajal) dan besarnya mahar (mas kawin) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang hendak dinikahi (mahr, ajr), dinyatakan secara spesifik dan eksplisit. Sedangkan yang dimaksud dengan nikah mut'ah menurut istilah adalah pernikahan yang ditentukan sampai waktu tertentu, yang mana setelah waktu yang ditentukan habis selesailah pernikahan itu. Imam Syafi'i berkata :
Nikah mut'ah yang dilarang adalah seluruh bentuk pernikahan yang ditentukan hingga waktu tertentu, baik waktu itu sebentar maupun lama.Imam Nawawi dalam al majmu' syarah muhazzab berkata : Nikah Mut'ah adalah yaitu pernikahan yang ditentukan hingga waktu tertentu. Jika waktu yang ditentukan telah selesai maka selesailah pernikahan itu.Ibnu Dhawayyan berkata :yaitu menikahkan anaknya hingga batas waktu tertentu, dan mensyaratkan bahwa setelah jangka waktu selesai maka tercerailah suami istri itu. Dari penjelasan tentang arti nikah mut'ah di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa nikah mut'ah adalah bentuk pernikahan yang selesai bila waktu yang disepakati telah tiba. Setelah waktunya tiba, kedua suami istri akan terpisah tanpa ada proses perceraian sebagaimana pernikahan yang dikenal dalam Islam atau perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk jangka waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya .
B. Rukun nikah mut’ah
Rukun Mut’ah adalah: perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk jangka waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya
·         Lafaz kontrak; zawwajtuki, ankahtuki atau matta’tuki
·         Calon istri yang dipersyaratkan muslimah atau Ahli Kitab yang bersih dari perbuatan kotor (‘afifah)
·         Mahar/’Ajr yang disepakati kedua belah pihak
·         Batasan waktu yang juga disepakati kedua belah pihak.

Sementara itu implikasi dari mut’ah adalah:
·         Anak yang lahir dinisbahkan kepada suami
·         Tidak ada talak dan li’an
·         Suami dan  istri tidak saling mewarisi, kecuali antara anak dan kedua orang tuanya
·         ‘Iddah yang harus dijalankan setelah tenggang waktu mut’ah habis adalah dua kali masa haid atau 45 hari bagi yang tidak haid.

·         Hukum nikah mut’ah
·         Pada awal perjalanan Islam, nikah mut’ah memang dihalalkan,
·         كُنَّا ‏ ‏نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏لَيْسَ لَنَا نِسَاءٌ فَقُلْنَا أَلَا ‏ ‏نَسْتَخْصِي ‏ ‏فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا أَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ ‏ ‏بِالثَّوْبِ ‏ ‏إِلَى أَجَلٍ ثُمَّ قَرَأَ ‏ ‏عَبْدُ اللَّهِ ‏ ‏يا أيها الذين آمنوا لا تحرموا طيبات ما أحل الله لكم ولا تعتدوا إن الله لا يحب المعتدين ‏
·         Kami pergi berperang bersama Rasulullah saw. tanpa membawa istri lalu kami bertanya: Bolehkah kami mengebiri diri? Beliau melarang kami melakukan itu kemudian memberikan rukhsah untuk menikahi wanita dengan pakaian sebagai mahar selama tempo waktu tertentu lalu Abdullah membacakan ayat tsb. (HR. BukhariMuslim). Hadits dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata: Pernah kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasul Saw
·         إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏قَدْ ‏ ‏أَذِنَ لَكُمْ أَنْ تَسْتَمْتِعُوا ‏ ‏يَعْنِي ‏ ‏مُتْعَةَ النِّسَاءِ
·         Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah maka sekarang mut’ahlah.
·         Namun hukum ini telah dimansukh/dihapus dengan larangan Rasul Saw untuk menikah mut’ah. Para ulama berselisih pendapat kapan diharamkannya nikah mut’ah tersebut. Pendapat yang lebih rajih bahwa nikah mut’ah diharamkan pada saat fathu makkah tahun 8 Hijriyah.
·         Tujuan nikah mut’ah
Syariat nikah menurut Islam ini, ajaran Islam ingin melindungi para wanita untuk mendapatkan hak-haknya. Para wanita tidak dapat dipertukarkan lagi sebagaimana zaman jahiliyah. Para wanita selain harus menjalankan kewajibannya sebagai istri, juga mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf), dan ketika suami meninggal ia juga dapat bagian dari harta warisan. Demikian tujuan nikah menurut ajaran Islam. Sedangkan nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam.
·         Perbedaan
Enam perbedaan prinsip antara nikah mut’ah dan nikah sunni (konvensional).
·         Nikah mut’ah dibatasi oleh waktu, nikah sunni tidak dibatasi oleh waktu.
·         Nikah mut’ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam aqad atau faskh, sedangkan nikah sunni berakhir dengan talaq atau meninggal dunia.
·         Nikah mut’ah tidak berakibat saling mewarisi antara suami istri, nikah sunni menimbulkan pewarisan antara keduanya.
·         Nikah mut’ah tidak membatasi jumlah istri, nikah sunni dibatasi dengan jumlah istri hingga maksimal empat orang.
·         Nikah mut’ah dapat dilaksanakan tanpa wali dan saksi, nikah  sunni harus dilaksanakan dengan wali dan saksi.
·         Nikah mut’ah tidak mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri, nikah sunni mewajibkan suami memberikan nafkah kepada  istri.
Bahtsul Masail menyimpulkan, nikah mut’ah hukumnya haram dan akadnya batal (tidak sah) berdasarkan sejumlah dalil.
Ditinjau dari segi mudharatnya (dampak negatif) bahwa hukum mut’ah bertentangan dengan tujuan pernikahan dalam Islam;
·         nikah mut’ah merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat kaum wanita;
·         nikah mut’ah mengganggu keharmonisan keluarga dan meresahkan masyarakat;
·         nikah mut’ah berakibat menelantarkan generasi yang dihasilkan oleh pernikahan itu;
·         nikah mut’an bertentangan dengan Undang Undang Perkawinan No.1/1974 pasal 1 dan 2;
·         nikah mut’ah dicurigai dapat menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin;
·         nikah mut’ah sangat potensial untuk merusak kepribadian dan budaya luhur bangsa Indonesia.
Dijelaskan pula, pernikahan yang diikuti dengan pembacaan _shighot ta’liq talaq (ungkapan talaq bersyarat) adalah tidak termasuk nikah mut’ah. Hal itu karena shighot ta’liq talaq tersebut diucapkan sesudah selesai akad nikah; _shighot ta’liq talaq tidak mengandung pembatasan waktu;  pembacaan _shighot ta’liq talaq dimaksud tidak merupakan suatu keharusan.
C. DALIL HARAMNYA NIKAH MUT’AH
pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih sbb.
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُتْعَةِ عَامَ خَيْبَرَ
عَنْ سَلَمَةَ بن الأكوع رضي الله عنه قَالَ : رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ أَوْطَاسٍ فِي الْمُتْعَةِ ثَلَاثًا ثُمَّ نَهَى عَنْهَا ( رواه مسلم ( “Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika ditundukkannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya” عن رَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا ( أخرجه مسلم وأبو داوود والنسائي وابن ماجة وأحمد وابن حبان ( “Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah”
Berikut ini kami paparkan sebagian penjelasan yang ada dalam kitab-kitab ulama syiah megenai mut'ah.

1. Nikah Mut'ah adalah bukan pernikahan yang membatasi istri hanya empat.

الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ الْأَشْعَرِيِّ عَنْ بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْأَزْدِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا الْحَسَنِ ( عليه السلام ) عَنِ الْمُتْعَةِ أَ هِيَ مِنَ الْأَرْبَعِ فَقَالَ لَا

Dari Abubakar bin Muhammad Al Azdi dia berkata :aku bertanya kepada Abu Hasan tentang mut'ah, apakah termasuk dalam pernikahan yang membatasi 4 istri? Dia menjawab tidak.

Wanita yang dinikahi secara mut'ah adalah wanita sewaan, jadi diperbolehkan nikah mut'ah walaupun dengan 1000 wanita sekaligus, karena akad mut'ah bukanlah pernikahan. Jika memang pernikahan maka dibatasi hanya dengan 4 istri.
7- الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ سَعْدَانَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ زُرَارَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ ذَكَرْتُ لَهُ الْمُتْعَةَ أَ هِيَ مِنَ الْأَرْبَعِ فَقَالَ تَزَوَّجْ مِنْهُنَّ أَلْفاً فَإِنَّهُنَّ مُسْتَأْجَرَاتٌ

Dari Zurarah dari Ayahnya dari Abu Abdullah, aku bertanya tentang mut'ah pada beliau apakah merupakan bagian dari pernikahan yang membatasi 4 istri? Jawabnya : menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut'ah adalah wanita sewaan

2. Syarat Utama Nikah Mut'ah

Dalam nikah mut'ah yang terpenting adalah waktu dan mahar. Jika keduanya telah disebutkan dalam akad, maka sahlah akad mut'ah mereka berdua. Karena seperti yang akan dijelaskan kemudian bahwa hubungan pernikahan mut'ah berakhir dengan selesainya waktu yang disepakati. Jika waktu tidak disepakati maka tidak akan memiliki perbedaan dengan pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam
- عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهْلِ بْنِ زِيَادٍ وَ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ جَمِيعاً عَنِ ابْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ جَمِيلِ بْنِ صَالِحٍ عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ لَا تَكُونُ مُتْعَةٌ إِلَّا بِأَمْرَيْنِ أَجَلٍ مُسَمًّى وَ أَجْرٍ مُسَمًّى .

Dari Zurarah bahwa Abu Abdullah berkata : Nikah mut'ah tidaklah sah kecuali dengan menyertakan 2 perkara, waktu tertentu dan bayaran tertentu.

3. Batas minimal mahar mut'ah
Di atas disebutkan bahwa rukun akad mut'ah adalah adanya kesepakatan atas waktu dan mahar. Berapa batas minimal mahar nikah mut'ah?

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) عَنْ أَدْنَى مَهْرِ الْمُتْعَةِ مَا هُوَ قَالَ كَفٌّ مِنْ طَعَامٍ دَقِيقٍ أَوْ سَوِيقٍ أَوْ تَمْرٍ .
الكافي ج 5 ص 457

Dari Abu Bashir dia berkata : aku bertanya pada Abu Abdullah tentang batas minimal mahar mut'ah, lalu beliau menjawab bahwa minimal mahar mut'ah adalah segenggam makanan, tepung, gandum atau korma.

4. Tidak ada talak dalam mut'ah

dalam nikah mut'ah tidak dikenal istilah talak, karena seperti di atas telah diterangkan bahwa nikah mut'ah bukanlah pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam. Jika hubungan pernikahan yang lazim dilakukan dalam Islam selesai dengan beberapa hal dan salah satunya adalah talak, maka hubungan nikah mut'ah selesai dengan berlalunya waktu yang telah disepakati bersama. Seperti diketahui dalam riwayat di atas, kesepakatan atas jangka waktu mut'ah adalah salah satu rukun/elemen penting dalam mut'ah selain kesepakatan atas mahar.

3- مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ ابْنِ فَضَّالٍ عَنِ ابْنِ بُكَيْرٍ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ عِدَّةُ الْمُتْعَةِ خَمْسَةٌ وَ أَرْبَعُونَ يَوْماً كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) يَعْقِدُ بِيَدِهِ خَمْسَةً وَ أَرْبَعِينَ فَإِذَا جَازَ الْأَجَلُ كَانَتْ فُرْقَةٌ بِغَيْرِ طَلَاقٍ

Dari Zurarah dia berkata masa iddah bagi wanita yang mut'ah adalah 45 hari. Seakan saya melihat Abu Abdullah menunjukkan tangannya tanda 45, jika selesai waktu yang disepakati maka mereka berdua terpisah tanpa adanya talak.

5. Jangka waktu minimal mut'ah.

Dalam nikah mut'ah tidak ada batas minimal mengenai kesepakatan waktu berlangsungnya mut'ah. Jadi boleh saja bersepakat nikah mut'ah dalam jangka waktu satu hari, satu minggu, satu bulan bahkan untuk sekali hubungan suami istri.

عَنْ خَلَفِ بْنِ حَمَّادٍ قَالَ أَرْسَلْتُ إِلَى أَبِي الْحَسَنِ ( عليه السلام ) كَمْ أَدْنَى أَجَلِ الْمُتْعَةِ هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَتَمَتَّعَ الرَّجُلُ بِشَرْطِ مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ قَالَ نَعَمْ .
Dari Khalaf bin Hammad dia berkata aku mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu mut'ah? Apakah diperbolehkan mut'ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan suami istri? Jawabnya : ya

Orang yang melakukan nikah mut'ah diperbolehkan melakukan apa saja layaknya suami istri dalam pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam, sampai habis waktu yang disepakati. Jika waktu yang disepakati telah habis, mereka berdua tidak menjadi suami istri lagi, alias bukan mahram yang haram dipandang, disentuh dan lain sebagainya. Bagaimana jika terjadi kesepakatan mut'ah atas sekali hubungan suami istri? Yang mana setelah berhubungan layaknya suami istri mereka sudah bukan suami istri lagi, yang mana berlaku hukum hubungan pria wanita yang bukan mahram? Tentunya diperlukan waktu untuk berbenah sebelum keduanya pergi.

ع أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) عَنِ الرَّجُلِ يَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ عَلَى عَرْدٍ وَاحِدٍ فَقَالَ لَا بَأْسَ وَ لَكِنْ إِذَا فَرَغَ فَلْيُحَوِّلْ وَجْهَهُ وَ لَا يَنْظُرْ
Dari Abu AbdiLLAAH, ditanya tentang orang nikah mut'ah dengan jangka waktu sekali hubungan suami istri. Jawabnya : " tidak mengapa, tetapi jika selesai berhubungan hendaknya memalingkan wajahnya dan tidak melihat pasangannya".

6. Nikah mut'ah berkali-kali tanpa batas.

Diperbolehkan nikah mut'ah dengan seorang wanita berkali-kali tanpa batas, tidak seperti pernikahan yang lazim, yang mana jika seorang wanita telah ditalak tiga maka harus menikah dengan laki-laki lain dulu sebelum dibolehkan menikah kembali dengan suami pertama. Hal ini seperti diterangkan oleh Abu Ja'far, Imam Syiah yang ke empat, karena wanita mut'ah bukannya istri, tapi wanita sewaan. Disini dipergunakan analogi sewaan, yang mana seseorang diperbolehkan menyewa sesuatu dan mengembalikannya lalu menyewa lagi dan mengembalikannya berulang kali tanpa batas.

1- عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) قَالَ قُلْتُ لَهُ جُعِلْتُ فِدَاكَ الرَّجُلُ يَتَزَوَّجُ الْمُتْعَةَ وَ يَنْقَضِي شَرْطُهَا ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا رَجُلٌ آخَرُ حَتَّى بَانَتْ مِنْهُ ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا الْأَوَّلُ حَتَّى بَانَتْ مِنْهُ ثَلَاثاً وَ تَزَوَّجَتْ ثَلَاثَةَ أَزْوَاجٍ يَحِلُّ لِلْأَوَّلِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا قَالَ نَعَمْ كَمْ شَاءَ لَيْسَ هَذِهِ مِثْلَ الْحُرَّةِ هَذِهِ مُسْتَأْجَرَةٌ وَ هِيَ بِمَنْزِلَةِ الْإِمَاءِ.

Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja'far, seorang laki-laki nikah mut'ah dengan seorang wanita dan habis masa mut'ahnya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa mut'ahnya, lalu nikah mut'ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa mut'ahnya tiga kali dan nikah mut'ah lagi dengan 3 lakii-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama? Jawab Abu Ja'far : ya dibolehkan menikah mut'ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut'ah adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya.

7. Wanita mut'ah diberi mahar sesuai jumlah hari yang disepakati.

Wanita yang dinikah mut'ah mendapatkan bagian maharnya sesuai dengan hari yang disepakati. Jika ternyata wanita itu pergi maka boleh menahan maharnya.
292
3- عَنْ عُمَرَ بْنِ حَنْظَلَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ قُلْتُ لَهُ أَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ شَهْراً فَأَحْبِسُ عَنْهَا شَيْئاً قَالَ نَعَمْ خُذْ مِنْهَا بِقَدْرِ مَا تُخْلِفُكَ إِنْ كَانَ نِصْفَ شَهْرٍ فَالنِّصْفَ وَ إِنْ كَانَ ثُلُثاً فَالثُّلُثَ. ك ج 5 ص 461

Dari Umar bin Handholah dia bertanya pada Abu AbduLLAAH : aku nikah mut'ah dengan seorang wanita selama sebulan lalu aku tidak memberinya sebagian dari mahar, jawabnya : ya, ambillah mahar bagian yang dia tidak datang, jika setengah bulan maka ambillah setengah mahar, jika sepertiga bulan maka ambillah sepertiga maharnya

8. Jika ternyata wanita yang dimut'ah telah bersuami ataupun seorang pelacur, maka mut'ah tidak terputus dengan sendirinya.

Jika seorang pria hendak melamar seorang wanita untuk menikah mut'ah dan bertanya tentang statusnya, maka harus percaya pada pengakuan wanita itu. Jika ternyata wanita itu berbohong, dengan mengatakan bahwa dia adalah gadis tapi ternyata telah bersuami maka menjadi tanggung jawab wanita tadi.

1- عَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) إِنِّي أَكُونُ فِي بَعْضِ الطُّرُقَاتِ فَأَرَى الْمَرْأَةَ الْحَسْنَاءَ وَ لَا آمَنُ أَنْ تَكُونَ ذَاتَ بَعْلٍ أَوْ مِنَ الْعَوَاهِرِ قَالَ لَيْسَ هَذَا عَلَيْكَ إِنَّمَا عَلَيْكَ أَنْ تُصَدِّقَهَا فِي نَفْسِهَا.

Dari Aban bin Taghlab berkata: aku bertanya pada Abu AbduLLAAH, aku sedang berada di jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik dan aku takut jangan-jangan dia telah bersuami atau pelacur. Jawabnya: ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya.

Ayatollah Ali Al Sistani berkata :

Masalah 260 : dianjurkan nikah mut'ah dengan wanita beriman yang baik-baik dan bertanya tentang statusnya, apakah dia bersuami ataukah tidak. Tapi setelah menikah maka tidak dianjurkan bertanya tentang statusnya. Mengetahui status seorang wanita dalam nikah mut'ah bukanlah syarat sahnya nikah mut'ah

9. Nikah mut'ah dengan gadis

2- مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ وَ عَبْدِ اللَّهِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ زِيَادِ بْنِ أَبِي الْحَلَّالِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) يَقُولُ لَا بَأْسَ بِأَنْ يَتَمَتَّعَ بِالْبِكْرِ مَا لَمْ يُفْضِ إِلَيْهَا مَخَافَةَ كَرَاهِيَةِ الْعَيْبِ عَلَى أَهْلِهَاك ج 5 ص 462

Dari ziyad bin abil halal berkata : aku mendengar Abu AbduLLAAH berkata tidak mengapa bermut'ah dengan seorang gadis selama tidak menggaulinya di qubulnya, supaya tidak mendatangkan aib bagi keluarganya.

10. Nikah mut'ah dengan pelacur

Diperbolehkan nikah mut'ah walaupun dengan wanita pelacur. Sedangkan kita telah mengetahui di atas bahwa wanita yang dinikah mut'ah adalah wanita sewaan. Jika boleh menyewa wanita baik-baik tentunya diperbolehkan juga menyewa wanita yang memang pekerjaannya adalah menyewakan dirinya.

Ayat Allah dan Ulama Ali Al Sistani mengatakan :

Diperbolehkan menikah mut'ah dengan pelacur walaupun tidak dianjurkan, ya jika wanita itu dikenal sebagai pezina maka sebaiknya tidak menikah mut'ah dengan wanita itu sampai dia bertaubat.

11. Pahala yang dijanjikan bagi nikah mut'ah

عَنْ أَبِيْ جَعْفَرٍ ع قال: قُلْتُ لَهُ: (لِلْمُتَمَتِّعِ ثَوَابٌ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ يُرِيْدُ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ تَعَالىَ وَخِلاَفًا عَلىَ مَنْ أَنْكَرَهَا لَمْ يُكَلِّمْهَا كَلِمَةً إِلاَّ كَتَبَ اللهُ تَعَالىَ لَهُ بِهَا حَسَنَةً، وَلَمْ يَمُدْ يَدَهُ إِلَيْهَا إِلاَّ كَتَبَ اللهُ لهُ حَسَنَةً، فَإِذَا دَنَا مِنْهَا غَفَرَ اللهُ تَعَالَى لَهُ بِذَلِكَ ذَنْبًا، فَإِذَا اغْتَسَلَ غَفَرَ اللهُ لَهُ بِقَدْرِ مَا مَرََََََََََََََّ مِنَ الْمَاءِ عَلىَ شَعْرِهِ، قُلْتُ: بِعَدَدِ الشَّعْرِ؟ قَالَ: نَعَمْ بِعَدَدِ الشَّعْرِ)). فقيه ج 3 ص 464

Dari Sholeh bin Uqbah, dari ayahnya, aku bertanya pada Abu AbduLLAAH apakah orang yang bermut'ah mendapat pahala? Jawabnya : jika karena mengharap pahala Allah dan tidak menyelisihi wanita itu, maka setiap lelaki itu berbicara padanya pasti ALLAAH menuliskan kebaikan sebagai balasannya, setiap dia mengulurkan tangannya pada wanita itu pasti diberi pahala sebagai balasannya. Jika menggaulinya pasti ALLAAH mengampuni sebuah dosa sebagai balasannya, jika dia mandi maka ALLAAH akan mengampuni dosanya sebanyak jumlah rambut yang dilewati oleh air ketika sedang mandi. Aku bertanya : sebanyak jumlah rambut? Jawabnya : Ya, sebanyak jumlah rambut.

4601 - وَقَالَ أَبُوْجَعْفَرٍ ع: (إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ لَمَّا اُسْرِيَ بِهِ إِلىَ السَّمَاءِ قَالَ: لَحِقَنِيْ جِبْرِئِيْل عليه السلام فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُوْلُ: إِنِّي قََََََََدْ غَفَرْتُ لِلْمُتَمَتِّعِيْنَ مِنَ أُمَّتِكَ مِنَ النِّسَاءِ.

Abu Ja'far berkata "ketika Nabi sedang isra' ke langit berkata : Jibril menyusulku dan berkata : wahai Muhammad, ALLAAH berfirman : Sungguh AKU telah mengampuni wanita ummatmu yang mut'ah

11. hubungan warisan
Ayatullah Udhma Ali Al Sistani dalam bukunya menuliskan : Masalah 255 : Nikah mut'ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan sampai mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini.

12. Nafkah
Wanita yang dinikah mut'ah tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami.
Masalah 256 : Laki-laki yang nikah mut'ah dengan seorang wanita tidak wajib untuk menafkahi istri mut'ahnya walaupun sedang hamil dari bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah disepakati pada akad mut'ah atau akad lain yang mengikat
BAB III

Penutup

Dari uraian diatas saya lebih memilih pendapat yang menyatakan mut’ah haram sampai hari kiamat. Keharaman ini bukan karena pendapat ‘ulama, bukan pula karena Umar yang mengharamkan, karena Umar hanya melaksanakan/menerapkan hukum syara’ saja. Keharamannya adalah karena hadits-hadits yang menyatakan haramnya mut’ah adalah hadits shahih, dan anggapan kontradiksi antar hadits tersebut dapat dijelaskan dengan baik.
Tidak diragukan lagi bahwa mut’ah adalah zina. Sehingga kalau negara menerapkan syari’at Islam maka ia kena had zina (di cambuk bagi yang belum nikah dan dirajam bagi yang telah nikah).
Adapun bagi orang yang mengambil/mengadopsi pendapat madzhab syi’ah Imamiyyah/Ja’fariyyah, maka harus diperhatikan: kalau kepala negara tidak mengadopsi/menetapkan hukum mut’ah maka tidak diterapkan baginya had, karena madzhab Ja’fariyyah juga merupakan ijtihad yang punya syubhat dalil. Adapun jika kepala negara (khalifah) mengadopsi/menetapkan hukum yang berlaku dalam negara adalah mut’ah haram maka tidak pandang bulu, bermadzhab apapun kalau melakukan mut’ah akan kena had sebagai mana yang dilakukan Umar ra. Karena kaidah Fiqh menyatakan
حكم الحاكم في مسائل الاجتهاد يرفع الخلاف
Ketetapan hakim/penguasa (khalifah) dalam masalah ijtihad mengangkat (menghapus) perbedaan.
Adanya perbedaan ijtihad (syi’ah & sunni) ini tidak boleh membuat kita kemudian sembarangan mengambil pendapat, tidak berdasarkan kekuatan dalil lagi, namun berdasarkan kekuatan ‘nafsu’, kalau ini yang terjadi maka yang kita lakukan bukan mengikuti hukum syara’ namun mengikuti hawa nafsu, terus kondisi yang ‘biasa’ kita ‘darurat-daruratkan’ agar sesuai dengan salah satu hasil ijtihad.
Ketika kita tahu dalil yang lebih kuat maka wajib hukumnya bagi kita untuk merubah pendapat kita dari mengikuti pendapat yang lemah kemudian mengikuti pendapat yang lebih kuat tersebut. Sebagaimana sahabat sebelumnya mereka memahami bahwa jima’ kalau tidak keluar sperma maka tidak wajib mandi junub berdasarkan riwayat Abu Said Al Khudlri, namun ketika mereka dapat riwayat dari Aisyah bahwa apabila dua khitan bertemu maka wajib mandi, selanjutnya Aisyah bilang: aku melakukannya dengan Rasulullah dan kami mandi junub, maka para sahabat akhirnya meninggalkan pendapatnya dan mengikuti pendapat yang memiliki dalil yang lebih kuat, karena pada ghalibnya Aisyah lebih tahu urusan ini ketimbang Abu Said Al Khudlri.





DAFTAR PUSTAKA

A. Syarafuddin al-Musa>wi. Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah. Terj. Mukhlis. Bandung: Mizan, 1993.
Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve, 2003.
Ali Sodiqin. Antropologi al-Qur’an. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
John L. Eksposito (ed.), “Mut’ah”, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. New York: Oxford University Press, 1995.
Khaled Abou El Fadl. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Penterj. Helmi Mustafa. Jakarta: Serambi, 2006.
Khalil Abdul Karim. Hegemoni Quraisy. Penterj. M. Faisol Fatawi. Yogyakarta: LKiS, 2002.
Khalil Abdul Karim. Syari’ah; Sejarah Perkelahian Pemaknaan. Penterj. Fuad Mustafis. Yogyakarta: LKiS, 2003.
Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press, 1987.
Muh}ammad H}usayn al-Dhahabi. al-Shari>’ah al-Isla>miyyah; Dira>sah Muqa>ranah bayn
Soekanto dan Soerjono Soekanto. Pokok-Pokok Hukum Adat. Bandung: Alumni, 1981.
Soerjono Soekanto. Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: Rajawali, 1984.
Surojo Wignjodipuro. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung, 1985.
T. O. Ihromi (ed.), Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar